Urutan tahap tahap pembuatan perjanjian internasional
1) Tahap Perundingan
(negotiation)
Pada tahap ini
pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak
dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut
pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan
akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil
suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara
bersangkutan.
2) Tahap
Penandatangan (signature)
Tahap penandatanganan
diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication
of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka
pengesahan dapat dilakukan dengan penendatanganan, penandatanganan sementara
atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti
suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.
3) Tahap Ratifikasi
(ratification)
Meskipun delegasi
suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti
bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara
tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut
diratifikasi.
B. Melalui dua
tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan.
Cara yang pertama diadakan untuk hal-hal yang
dianggap penting, sehingga perlu persetujuan dari DPR. Sedangkan cara kedua
untuk perjanjian internasional yang tidak begitu penting dan memerlukan
penyelesaian yang cepat seperti misalnya perdagangan yang berjangka waktu
pendek.
Hampir senada dengan
Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond (1984) mengemukakan 2 prosedur pembuatan
perjanjian internasional yaitu:
1. Prosedur normal
atau klasik.
Prosedur ini
mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan,
penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi.
2. Prosedur yang disederhanakan
(simplified).
Prosedur ini tidak
mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk
penyelesaian secara cepat.
Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu
atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional.
Berdasarkan hukum
posisitf Indonesia
Dalam Pasal 11 ayat 1
UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian
dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara,
dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan
perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.
Ketentuan lebih lanjut
tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun
2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional
dilakukan melalui tahap:
1. Penjajakan
2. Perundingan
3. Perumusan naskah
4. Penerimaan naskah
perjanjian
5. Penandatanganan
6. Pengesahan naskah perjanjian
0 comments
Post a Comment