- Lembaga atau Kekuasaan Pembentuk UU sesuai UUD NKRI tahun 1945 yaitu DPR
- Kekuasaan Pembentuk UU sesuai UUD NKRI tahun 1945 adalah DPR
- Kekuasaan Mengubah dan Menetapkan UU adalah MPR
- Lembaga atau Kekuasaan Melaksanakan UU adalah Eksekutif
Berikut ini adalah Pembahasannya materi tentang Lembaga atau Kekuasaan Pembentuk UU sesuai UUD NKRI tahun 1945
Lembaga atau Kekuasaan Pembentuk UU sesuai UUD NKRI tahun 1945 |
Dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia pernah dikenal
istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Yang
dimaksud lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara adalah
lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara menurut UUD 1945
(Daliyo, 1992 : 56). Lembaga yang disebut sebagai lembaga tertinggi
negara dan lembaga tinggi negara dalam UUD 1945 adalah :
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)
2) Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6) Mahkamah Agung (MA)
Dari keenam lembaga negara tersebut, MPR merupakan lembaga tertinggi
negara. MPR mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga yang lain
yang kedudukannya sejajar, yakni sebagai lembaga tinggi negara. Dalam
susunan ketatanegaraan RI pada waktu itu, yang berperan sebagai lembaga
legislatif adalah MPR dan DPR.
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri
dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan politik, dan
golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan
kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak
terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh
rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat
presiden dan wakil presiden
Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri
dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya melalui
pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah:
a. Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20
ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk memberikan
persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU
tersebut. (Pasal 21 UUD 1945)
b. Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
c. Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
B. PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Setelah adanya amandemen ke IV UUD 1945, (yang
selanjutnya akan disebut UUD NRI 1945), terdapat suatu perubahan yang
cukup mendasar baik dalam sistem ketatanegaraan maupun kelembagaan
negara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari dihapuskannya
kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta adanya beberapa
lembaga negara baru yang dibentuk, yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kedudukan seluruh lembaga negara adalah
sejajar sebagai lembaga tinggi negara. Adapun lembaga – lembaga yang
tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NRI 1945 adalah :
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4) Presiden
5) Mahkamah Agung (MA)
6) Mahkamah Konstitusi (MK)
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Adanya amandemen terhadap UUD 1945 telah menciptakan
suatu sistem konstitusional yang berdasarkan perimbangan kekuasaan
(check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang
berdasarkan fungsi masing-masing. Selain itu penyempurnaan pada sisi
kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan
perkembangan negara demokrasi modern, yaitu salah satunya menegaskan
sistem pemerintahan presidensial dengan tetap mengambil unsur – unsur
pemerintahan parlementer sebagai upaya untuk menutupi kekurangan system
pemerintahan presidensial.
Dalam hal kewenangan lembaga negara, UUD
NRI 1945 menekankan adanya beberapa perubahan pada kewenangan lembaga
legislatif yaitu :
Hal yang paling menonjol mengenai MPR setelah adanya amandemen UUD
adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Selain itu, perubahan – perubahan yang terjadi di lembaga MPR baik
mengenai susunan, kedudukan, tugas maupun wewenangnya adalah :
a. MPR tidak lagi menetapkan GBHN
b. MPR tidak lagi mengangkat presiden. Hal ini dikarenakan
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
(Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945). MPR hanya bertugas untuk melantik
presiden terpilih sesuai dengan hasil pemilu. (Pasal 3 ayat 2 Perubahan
III UUD 1945).
c. Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan yaitu terdiri
dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilu
d. MPR tetap berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945)
e. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil
Presiden dalam masa jabatannya, apabila atas usul DPR yang berpendapat
bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan
kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah satunya adalah
diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya
dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja.
Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga
legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses
serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga
mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. (Pasal
20 A ayat (1) UUD NRI 1945)
Sebagai lembaga negara yang baru dibentuk setelah
amandemen UUD, DPD dibentuk dengan tujuan untuk mengakomodasi
kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah ditingkat nasional.
Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan daerah dan utusan
golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota DPR, anggota
DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. (Pasal 22 C
ayat (1) UUD NRI 1945). DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan dan
ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. (Pasal 22 D
ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
C. KEKUASAAN MEMBENTUK PERUNDANG-UNDANGAN
1) Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang
Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan dan
Legislasi, parlemen berfungsi mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan
dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah (Parlemen Parle an Government). Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial (social control)
terhadap kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen
berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada
masyarakat melalui perdebatan terbuka (Public Debate) yang melibatkan keahlian legislator (parlemen parle an peuple).
Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk menyadar
fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:
a. Hak budget
b. Hak inteplasi
c. Hak angket
d. Hak usul resolusi
e. Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu
Selain hak yang bersifat kelembagaan, setiap individu anggota
parlemen juga dijamin haknya untuk bertanya dan mengajukan usul pendapat
serta hak lain, seperti hak immunitas dan hak protokuler. Semua hak itu
penting sebagai instrumen yang dapat dipakai dalam menjalankan fungsi
pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan
Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban
mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah
setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut
Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang,
membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham,
tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyaknya orang ( the gauntest happiness of the gauntest Number).
Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi legislatif, parlemen mempunyai
hak-hak seperti : (a) hak inisiatif, (b) hak amandemen. Dalam sistem
bicameral setiap kamar lembaga parlemen juga dilengkapi dengan hak veto
dalam menghadapi rancangan Undang-undang yang dibahas oleh kamar yang
berbeda. Hak veto berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap pelaksanaan
fungsi legislatif ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga
dalam sistem bicameral yang pemerintahannya bersifat presidential hak
veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi
dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di
Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme
hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.
2) Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD
merupakan representasi wilayah Provinsi. Banyaknya anggota DPD dari
setiap provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap
provinsi tanpa memandang luas dan kepadatan penduduknya akan mendapat
jatah kursi DPD sebanyak empat orang. Menurut Soedijarto, anggota Badan
Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP/ MPR) “ Bangsa ini belum
jadi. Orang di daerah tertentu melihat orang di daerah lain bukan
sebagai orang Indonesia. Perbedaan lainnya adalah jika DPR merupakan
orang-orang yang muncul dari partai, DPD adalah individu-individu
non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, ideal
seorang anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Yang
sedikit banyak akan dapat intervensi dari partai dari mana ia berasal
konsep baru ini merupakan reaksi dari konsep perwakilan yang semu yang
dianut negara ini selama 32 tahun selama masa Orde Baru. Dengan konsep
ini diharapkan bisa terbentuk mekanismechecks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Utrecht, bahwa mekanisme checks and balance yang
akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan
di Amerika Serikat. Hal ini dikenakan pemisahan kekuasaan secara mutlak
tidak mungkin dilaksanakan. Bila diadakan pemisahan secara mutlak,
berarti tidak adanya pengawasan antara lembaga-lembaga negara.
Meski begitu, pergeseran konsep keseimbangan tersebut kembali timpang
ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang
Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003
banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar
pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut
misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini
diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :
a. Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,
b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Dengan kata lain, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi
kewenangan DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan sebuah
Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam
pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk
mengambil keputusan. Selain itu, perlu digarisbawahi pula bahwa
kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang
tertentu yaitu Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan
pengembangan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Begitu juga dengan tata tertib DPD, di mana Pasal 46 (1) yang
mengamanatkan dibentuknya panitia perancang Undang-undang yang merupakan
alat kelengkapan DPD. Pasal yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan
tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan
menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan
rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu)
masa keanggota DPD dan setiap anggaran.
Dengan demikian, secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.
1. DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR
yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah,
3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1)
UUD1945).
2. DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang
diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan
kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).
3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD
diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya di
atur dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR
dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.
Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah
DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa
DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau
Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli.
Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya
sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam
pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi. Dalam suatu
Propinsi tentu terdapat banyak cluster aktor strategis. Mereka
mempunyai kepentingan berbeda-beda baik dari segi tema maupun
tingkatannya. Perbedaan sistematik jelas terlihat, misalnya antara Dewan
Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Sosial Masyarakat
(LSM). Di antara lembaga-lembaga tersebut juga terdapat perbedaan
tingkatan kepentingan, misalnya Dewan Perwakilan Daerah yang cenderung
politis, Pemerintah Daerah yang cenderung Pragmatis dan LSM yang
cenderung mikro-merakyat. Bagaimana anggota DPD dari suatu Propinsi
mampu melakukan pengelompokan prioritisasi dan penentuan strategi lanjutan terhadap berbagai kepentingan yang disuarakan ?
3) Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang
Sebelum perubahan UUD1945, Presiden bahkan merupakan lembaga
yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah
perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk
mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara
bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang
yang juga dilakukan oleh Presiden.
Sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945 presiden merupakan
lembaga yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sedangkan
sesudah amandemen UUD1945 Presiden masih dilibatkan dalam pembentukan
Undang-undang seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang,
pembahasan yang dilakukan bersama DPR terhadap rancangan Undang-undang
dan pengesahan rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yang juga
dilakukan oleh presiden.
0 comments
Post a Comment